Sabtu, 21 Agustus 2010

Mobua dan Pentas Seni Budaya Mokole Matano 2010

Mobua & Pentas Seni Budaya Mokole Matano

Sabtu 31 July dan 01 Agustus 2010 telah dilaksanakan Mobua dan Pentas Seni Budaya Mokole Matano 2010 di laksanakan di kampung Matano, desa Matano. Mobua yang berarti pesta panen yang merupakan kebiasaan secara turun temurun di lakukan oleh masyarakat adat Mokole Matano untuk mensyukuri hasil panen yang melimpah, dalam acara ini juga di ikuti oleh pentas seni dan budaya Mokole Matano sebagai bentuk langkah pelestarian seni dan budaya yang secara turun temurun hampir punah.

Pada perayaan acara Mobua dahulu kala sangat meriah, karena di kampung Matano sendiri terdiri dari lima kampung besar yaitu Kampung Rahampu’u, Lemogola, Gampusera, Mata ‘Alu dan Lembara, juga semua Ihi Inia Mokole Matano seperti Sorowako dan Sukoyo juga turut berkumpul dan saling bekerjasama, tak jarang juga anak suku seperti To Padoe, To Karunsi’E, To Taipa, To Weula, Umbu Bengko Tokinadu dan To Tambe’e datang untuk membantu mempbuat persiapan acara. Namun dalam kondisi perkembangan zaman acara Mobua tidak lagi begitu di nikmati oleh beberapa orang maupun para anak suku.

Pada zaman dahulu acara Mobua dilaksanakan berdasarkan tatanan adat dan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi latar belakan eksistensi masyarakat adat Mokle Matano, yang mana acara Mobua biasanya dilaksanakan di daerah Lemo-lemo atau lapangan luas di belakang kampung Matano, para orang-orang tua dan jajaran para perangkat adat Mokole Matano seperti Mokole Wawa Inia Rahampu’u Matano, Mohola Wawa Inia Rahampu’u Mokole Matano, Pabitara Wawa Inia Mokole Matano, Karua, Papangara dan Bonto berkumpul di lapangan yang telah di gelar tikar dengan membentuk lingkaran, kemudian semua masyarakat yang bercocok tanam pada saat itu mengantarkan hasil panennya untuk di kumpul bersama di tengah-tengah lapangan luas agar bisa di nikmati bersama seluruh anak rakyat. Beberapa ekor kerbau yang di potong juga turut serta di nikmati bersama, jika terdapat sisa daging kerbau maka akan dibagi-bagikan kepada anak suku Mokole Matano untuk di bawa pulang.

Dalam perayaan Mobua dan Pentas Seni Budaya Mokole Matano tahun 2010 ini di meriahkan dengan beberapa pertandingan modern seperti pertandingan Sepak Bola, Bola Volley dan Tennis Meja, serta beberapa seni budaya seperti seni musik Bambu, tarian perang Momaani dan irama Mo’isa Nohu Mentade, namun yang paling cukup di nikmati oleh seluruh masyarakat adat Mokole Matano adalah permainan tradisional seperti MeLogo, MeGori dan MeHule.

Musik bambu di mainkan oleh 18 orang peniup lengkap dengan kostum adat seperti Pasapu untuk para pria, baju adat pria, dan Wadu ( kostum wanita), musik bambu tersebut melantunkan tiga judul lagu yaitu Mars Jalan, Wals Tua dan Hidup Manusia. Ketiga lagu tersebut merupakan ciptaan dari seorang instruktur yang bernama Pither dan sekaligus menjadi pelatih dan Pembina musik bambu sejak dulu di kampung Matano.

Tarian Perang Momaani yaitu merupakan suatu tarian ketika pasukan Mokole Matano menang dalam perang, para pemain terdiri dari 7 orang yang mana enam orang sebagai pasukan dan seorang lagi sebagai panglima perang. Ketujuh orang tersebut masing-masing menggunakan perlengkapan perang seperti baju perang (wansa), topi perang (tandu-tandu), parang (Ponai), tombak ( Kansai) dan perisai ( Kanta). Di era modern seperti ini tarian perang Momaani di lakukan untuk menyambut para tamu-tamu kebesaran yang datang berkunjung di kampung Matanodan acara-acara besar seperti Mobua dan pentas Seni Budaya.

Mo’isa Nohu Mentade yang berarti tradisi menumbuk padi yang memiliki irama dan keseimbangan menumbuk, yang mana sebuah lesung berbentuk bundar di siapkan beserta alu yang sudah di siapkan beberapa ikat padi ladang, pemainnya terdiri dari empat orang yaitu 3 orang menumbuk padi secara teratur tanpa saling menabrakkan alunya dan seorang lagi duduk di samping lesung dengan memegang sebatang kayu yang biasanya di gunakan sebagai pemukul gendang, seseorang ini memukul bagian sisi tengah lesung sebagai pengatur irama para penumbuk padi.

MeLogo merupakan permainan tradisional yang sering dilakukan pada saat hasil panen tiba, dahulu kala permainan ini tidak boleh di mainkan di sembarang waktu, apalagi ketika musim panen belum tiba karena akan berakibat terhadap tidak berhasilnya panen tahunan. Permainan MeLogo ini berasal dari tempurung kelapa yang dibentuk oval dan satu ujungnya di runcingkan agar bisa di tancapkan ketanah, dalam permainan ini terdiri dari sembilan buah logo yang disusun memanjang yang kira-kira memiliki jarak masing-masing sekitar 2 meter, logo barisan terdepan di beri nama Langgorodi dan barisan paling belakang bernama Bulu Punci, sedangkan pemukul atau pendorong logo adalah Pacempa. Dalam permainan Melogo ini biasanya di mainkan tidak lebih dari sembilan orang, dan masing-masing memiliki logo untuk di tembakkan pada sembilan logo yang telah ditancapkan ke tanah.

MeGori yaitu permainan yang peralatannya dari kemiri, permainan ini biasanya dilakukan pada saat selesai menuai hasil panen sama seperti MeLogo, pemain MeGori biasanya di mainkan oleh para perempuan, baik anak-anak maupun perempuan dewasa.

MeHule yaitu permainan gasing, yang bahan bakunya terbuat dari batang kayu struktur keras seperti inti kayu kaloju yang dalam bahasa Matano adalah kayu Langara, gasing tersebut dibuat berbentuk bundar dan oval yang mana kedua ujungnya di runcingkan agar gasing bisa berputar pada sumbunya. Pemutar gasing biasanya menggunakan tali yang dibuat secara tradisional, bahannya dari kulit kayu yang keras berserabut dan dianyam hingga membentuk tali, tali tersebut dinamakan “Koloro”. Cara memainkannya yaitu seseorang melilit hule dengan koloro dan melemparkannya ke tanah dengan teknik lempar tersendiri hingga hule berputar, maka seseorang lagi mengambil gasingnya yang telah dililit koloro dan melempar hule yang telah berputar di tanah tersebut, ketika kedua hule tersebut berbenturan maka akan terlempar kebeberapa arah, hule yang paling lama berputar akan mejadi pemenang permainan tersebut.

Pada puncak acara mobua dan pentas seni budaya Mokole Matano dihadiri oleh KaBag Kebudayaan-Pariwisata dan Seni Luwu Timur yaitu bapak Drs. Hamris Darwis dan Anggota Legislatif Luwu Timur bapak Witman Budiarta yang juga merangkap sebagai Ketua Lembaga Adat Mokole Matano. Dalam pidato pak Hamris mengatakan bahwa kampung Matano merupakan kampung adat yang perlu dijaga, dilestarikan dan di kembangkan dalam hal pariwisata, seni dan budaya karena eksistensi masyarakat adatnya masih kental, beliau juga mengatakan bahwa masyarakat adat Mokole Matano juga diharapkan agar senantiasa memiliki inisiatif untuk melestarikan kekayaan budaya leluhur yang hampir punah ini. Witman Budiarta juga menyampaikan dalam pidatonya bahwa Seni dan Budaya Mokole Matano merupakan kekayaan tersendiri dan tidak boleh luntur, karena memiliki keunikan tersendiri dalam hal budaya, tata krama dan kebiasaan, dalam pidatonya juga beliau menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat adat Mokole Matano yang telah berusaha, bekerjasama dan melestarikan seni dan budaya Mokole Matano hingga terlaksananya acara Mobua dan Pentas Seni Budaya Mokole Matano tahun 2010.

Comment

Silahkan anda memberikan komentar tentang artikel di atas